Selasa, 22 Maret 2011

Mengajarkan Anak Mengenal Uang & Berhemat


Hello parents.. Just check it out, before you read the article..
Parents small test
Pertanyaan

1. Apa yang dilakukan anak Anda terhadap uang hadiah (uang salam tempel/angpau) atau uang sakunya (harian/bulanan)?
a. Belum mengenal uang b.Digunakan jajan c.Ditabung d.Digunakan jajan & ditabung
2. Mampukah anak Anda berbelanja di warung/swalayan/minimarket?
a. Tidak/belum pernah b.Ya
3. Mampukah ia menentukan uang kembalinya?
a. Tidak b.Ya
4. Apakah anak Anda memiliki tabungan sendiri?
a. Tidak b.Ya
5. Apakah anak Anda memiliki penghasilan pribadi?
a. Tidak b.Ya

Skoring
 a = 0 b = 1 c = 2 d = 3
 Jumlahkan
 Skor tertinggi = 7
 Skor terendah = 0

Arti skor
 0 = belum mengenal uang
 1 – 3 = hanya mengenal uang
 4 – 7 = mampu mengelola uang

Miskonsepsi tentang Uang
Ada sejumlah hambatan yang menghalangi anak memahami konsep uang dengan tepat. Antara lain;
 Uang bukan untuk ANAK-ANAK
Sejumlah orang tua dengan sengaja tidak memberikan uang pada anaknya karena khawatir anak tidak mampu menyimpan dan mengelola uang yang diberikan kepadanya. Beberapa di antara orang tua tidak memebrikan uang pada anak dalam usaha mencegah anak memebelanjakan uangnya guna membeli penganan atau snack yang tidak sehat. Padahal tindakan ini justru memebuat anak menjadi tidak paham uang dan terdorong untuk sukar mengendalikan dirinya sendiri.
 Uang “mudah” diperoleh (seperti mengambil uang di ATM)
Sejumlah orang tua ‘seolah” ingin menunjukkan pada anaknya, betapa uang mudah diperoleh. Tekadang tindakan ini tidak disengaja. Ketika orang tua mengambil uang di mesin ATM, pastikan anak-anak paham bahwa uang tidak diambil begiu saja di mesin ATM. Uang dari mesin ATM adalah uang yang kita simpan dengan memasukkan uang lebih dulu ke bank.
 Uang semata untuk “jajan”
Penggunaan istilah uang jajan adalah tidak tepat. Seolah uang diberikan kepada anak dengan tujuan untuk dibelanjakan membeli jajanan. Padahal uang yang diberikan kepada anak sebaiknya tidak melulu untuk belanja. Sebagian disimpan untuk dijadikan tabungan tentu lebih baik dampaknya bagi anak. Sehingga penggunaan “uang saku”lebih tepat.

Sangat penting bagi anak untuk memahami konsep uang sejak dini. Yakni ketika anak sudah mulai tertarik mempelajari berbagai konsep, seperti hewan, tumbuhan, warna, bentuk, ajarkan pula padanya konsep tentang uang. Tahukah Anda, bahwa pemahaman akan konsep uang merupakan salah satu keterampilan adaptif. Keterampilan adaptif adalah kemampuan anak untuk dapat berfungsi dengan baik dalam menghadapi tantangan dari lingkungan.

Tahap mengajarkan Anak Kelola Uang
1. Mengenalkan
Beri anak uang, ajarkan perbedaan nilai.
Nilai uang dapat dijadikan “alat tukar” universal
2. Menghasilkan
Jadikan uang sebagai reward atas usaha-usahanya, a.l
1. Memeroleh nilai tinggi di sekolah atau prestasi atas aktivitas yang diikutinya
2. Disiplin: mengerjakan PR/belajar/melakukan aktivitas reguler (ibadah, merapikan kamar, dll)
Kenalkan entrepreneurship
3. Menggunakan
Memberi uang saku
Membeli kebutuhan
4. Menyimpan
Set goals, berupa rencana anak ke depan untuk memiliki sesuatu sehingga menjadi alasan baginya untuk menyimpan uang.
Beri celengan
Ajak ke bank, ketika jumlah tabungan di celengan sudah memadai.

Menjadi Full Time Mom (FTM) adalah Pilihan!

“Ohhh.. ibu rumah tangga?” pertanyaan ini kerap disampaikan dalam nada sinis. Lucunya, justru sering keluar dari mulut perempuan dan ditujukan kepada sesama perempuan yang rela “menyerahkan diri” sebagai full-time mother (FTM). Pertanyaan yang seolah merampingkan peran seorang ibu yang full-time ada di rumah.

Tak banyak yang menyadari, justru peran menjadi FTM tak kalah berat dengan working mom bahkan half-time working mom. Bila seorang working mom menghabiskan sekitar delapan hingga sepuluh jam waktunya untuk bekerja di luar rumah maka seorang FTM menghabiskan seluruh waktu tadi untuk mengurus anak hingga mengurus segala tetek bengek domestik alias urusan rumah tangga.

Bahkan tak jarang seorang FTM mengemban tuntutan yang lebih tinggi dari suami, orang tua, mertua, hingga lingkungan sekitarnya untuk dapat mengasuh anak, mengurus rumah berikut suami, melebihi seorang working mom. Dan perlu dicatat, tanpa gaji dan uang lembur. Karena FTM tak pernah dianggap sebagai pekerjaan melainkan hanya sebuah kegiatan yang sudah sepantasnya dilakukan oleh seorang istri dan ibu. Bahkan tak jarang mereka diberi istilah magabu suami alias makan gaji buta dari suami.

Sejumlah klien saya, yang terpaksa berkarir sebagai FTM, cenderung mengeluh tentang beratnya tuntutan yang dibebankan di atas pundak mereka khususnya yang berkaitan dengan pengasuhan dan tugas-tugas domestik. Tak jarang mereka harus menghadapi kenyataan sebagai satu-satunya kambing hitam saat anak-anak bermasalah di sekolah termasuk saat urusan rumah tangga tak dapat di-handle dengan baik. Termasuk menghadapi kenyataan saat suami enggan diminta turut berbagi peran di rumah. Dengan alasan. FTM sudah cukup mendapat jatah untuk ”enak-enakan” ada di rumah. Bebas macet, konflik dengan atasan dan rekan, berkesempatan tidur siang dan bersantai sepanjang hari. Padahal, peran ayah tetap dibutuhkan dalam pengasuhan anak karena mmebawa atmosfir ynag berbeda dalam pengasuhan.

Itu sebabnya sejumlah FTM diketahui justru jauh dari perasaan bahagia dan sejahtera. Khususnya ketika peranan sebagai FTM merupakan sebuah kondisi yang dipaksakan. Bukan sebuah pilihan. Akibat tuntutan suami dan keluarga atau karena memiliki anak dengan kondisi tertentu. Bahkan FTM pun rentan akan stress, terutama bila power seutuhnya ditentukan dan dipegang oleh suami, sebagai satu-satunya tokoh bread winner di rumah, seperti pengambilan keputusan, keuangan, dan lain sebagainya.

Padahal perasaan bahagai dan sejahtera seorang ibu penting bagi pegasuhan yang optimal pada anak, terutama saat membangun kehangatan dan kelekatan. Hubungan yang hangat dan lekat penting bagi perkembangan psikososial pada anak. Tak hanya pengasuhan anak yang turut terpengaruh ketika kondisi ibu tak bahagia. Termasuk juga hubungan suami istri, mengingat sumber emosi di rumah berpusat pada seorang ibu.
FTM juga rentan akan perasaan diri tak berharga serta perasaan-perasaan tak percaya diri lainnya maka kondisi ini dapat berbanding terbalik dengan sejumah working mom. Working mom umumnya jauh lebih kompeten dan memiliki perasaan diri berharga yang baik. Mereka pun tergolong aman dan independent secara finansial.

Namun sekali lagi, tak perlu berkecil hati, saat FTM menjadi pilihan karir Anda. Karena sebetulnya tingkat kepuasan ibu terletak bukan pada peran sebagai FTM atau working mom. Melainkan ditentukan oleh, apakah kondisi menjadi FTM maupun working mom merupakan pilihan atau sebuah keadaan yang terpaksa?

Tentu saja peranan suami pun penting artinya bagi kepuasan ibu, baik yang FTM maupun bekerja. Ibu-ibu akan jauh lebih sejahtera saat memiliki pasangan yang bersedia berbagi peran dan memberi kontribusi yang adil dan seimbang di rumah.

3 Langkah FTM to the max!
- Pastikan menjadi FTM adalah pilihan Anda. Ketka Anda merasa terpaksa dan tetap ingin bekerja, temukan celah yang memungkinkan Anda untuk tetap memulai karir dari rumah. Tak ada gunanya bila Anda memilih menjadi FTM namun selalu mengeluh dan menyesali keadaan diri.
- Me-time, penting! Ingat, meski anda seorang istri dan ibu, Anda tetap seorang individu yang independent. Pastikan Anda memiliki waktu luang untuk diri sendiri, tanpa embel-embel membawa anak dan urusan rumah tangga. Saat melakukan aktivitas yang menjadi hoby dan minat anda. Me time penting agar Anda merasa berharga dan independent.
- Go social. Pertemanan tetap dibutuhkan agar Anda tetap memiliki kehidupan sosial ala wanita dewasa. Bersama dengan anak dan suami sepanjang waktu tak bisa menggantikan peran teman-teman perempuan dalam hidup Anda. Kehidupan sosial meningkakan perasaan sejahtera.

MEMAHAMI MULTIPLE INTELLIGENCE

Berbicara tentang inteligensi yang ada di benak kita adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang. Inteligensi dimaksudkan sebagai kapasitas yang dimiliki individu sehingga memungkinkan ia untuk belajar, bernalar, memecahkan masalah, dan melakukan tugas-tugas kognitif tingkat tinggi lainnya. Inteligensi yang tinggi selalu kita kaitkan dengan orang yang punya kemampuan seperti Albert Einstein. Itu yang kita sebut sebagai genius. Sementara individu yang berada pada ekstrim satunya kita cap sebagai orang dengan inteligensi rendah atau keterbelakangan mental.

Meskipun para ahli terutama di bidang psikologi belum merumuskan term inteligensi dengan tepat, sudah banyak usaha yang dilakukan untuk melakukan pengukuran terhadap inteligensi bahkan sejak awal 1900-an. Ini bermula dari sebuah sekolah di Perancis yang ingin membuat program pendidikan berdasarkan kecerdasan anak agar diperoleh manfaat yang optimal.

Alfred Binet kemudian merancang alat tes yang dapat membedakan siswa yang cerdas dari yang tidak cerdas. Hingga tercipta sebuah pengukuran yang disebut IQ atau Intelligence Quotient. Sebagai satuan ukuran, pada dasarnya IQ sama saja seperti gram untuk satuan ukuran berat, meter satuan ukuran panjang, dan quotient satuan skor yang menunjukan taraf kemampuan skolastik seseorang yang mencakup kemampuan verbal dan kemapuan logis matematika. Sampai saat ini sudah banyak tes IQ yang berkembang, antara lain; yang terkenal adalah tes Stanford-Binet dan Wechsler.

Menggunakan skor IQ sebagai satuan yang menunjukkan fungsi inteligensi seseorang sama artinya dengan menggunakan satu faktor tunggal (g-factor dari Spearman) saja untuk menggambarkan inteligensi secara universal. Artinya kalau seorang anak memperoleh skor tinggi pada tes tertentu, misalnya bahasa, dapat diramalkan dia juga akan memperoleh skor tinggi pada tes logis matematika. Jadi inteligensi dipandang sebagai satu faktor umum yang berkaitan.

Sayangnya, sebagai alat yang terbatas hanya mengukur kemampuan skolastik, skor IQ sering secara berlebihan digunakan sebagai patokan dalam meramalkan kesuksesan seorang individu, tidak hanya di sekolah tapi juga dalam pilihan karir, pekerjaan, serta lingkungan sosial di masa yang akan datang. Sehingga tanpa sadar kita mengabaikan keberadaan jenis kecerdasan lain yang juga berkembang dalam diri seorang individu.

Dapatkah kita katakan bahwa Beethoven, komposer kenamaan yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang musikal, namun memiliki keterbatasan pada kemampuan matematika dan bahasa sebagai orang yang tidak cerdas? Bagaimana dengan pelukis Pablo Picasso bahkan seorang Nadia Comaneci pesenam handal asal Rusia itu. Apakah mereka memiliki IQ yang tinggi? Belum tentu. Seorang Liz Taylor tetap dapat sukses meskipun dia tidak memiliki kemampuan yang sama seperti Einstein atau Bill Gates. Jadi kecerdasan seperti apakah yang mereka miliki?

Kondisi ini yang dipertanyakan oleh Howard Gardner seorang profesor dari Universitas Harvard dan pemelopor Project Zero. Dalam bukunya Frames of Minds tahun 1983, ia mengemukakan konsep inteligensi sebagai multi faktor, yakni terdiri dari tujuh dimensi, yang saling terpisah. Bukan semata konstruk unit tunggal. Konsep ini bermula dari temuannya bahwa bagian otak tertentu bertanggung jawab pada kecerdasan tertentu. Namun bukan berarti Gardner mengatakan bahwa ketujuh faktor tersebut dapat merepresentasikan inteligensi secara menyeluruh.

Ia kemudian merancang sebuah studi yang dapat mengetahui cara lain bahwa seorang individu juga dapat dikatakan cerdas. Jadi bukan mempertanyakan “Apakah anak ini cerdas?” namun lebih kepada “Kecerdasan seperti apa yang dimiliki anak ini?” Gardner percaya ada berbagai macam betuk kecerdasan pada setiap individu dalam derajat yang berbeda-beda.

Bagaimana mengidentifikasi setiap macam kecerdasan pada anak? Berikut adalah tujuh kecerdasan yang pada awalnya dikemukakan oleh Gardner.
1. Kecerdasan Bahasa
Kecerdasan ini berada pada area lobus frontal dan lobus temporal kiri (misalnya pada wilayah Broca/Wernicke).
Anak yang memiliki kemampuan kecerdasan yang besar pada area ini memiliki kemampuan pendengaran yang sangat berkembang dan menikmati aktivitas berbahasa. Mereka cenderung untuk berpikir dalam kata daripada gambar dan sering terlihat membaca buku atau menulis cerita atau puisi. Mereka umumnya merupakan pendongeng yang hebat, pembicara atau aktor yang ulung. Mereka dapat belajar secara optimal melalui kata-kata, melihat, atau mendengar kata. Inteligensi ini merupakan yang paling banyak dimiliki oleh semua orang.
2. Kecerdasan Matematika/Logis
Berkaitan dengan lobus parietal kiri (dan wilayah temporal maupun oksipital yang berkaitan atau berdekatan dengannya)
Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan berpikir secara konseptual. Biasanya individu dengan kecerdasan matematika yang baik suka mengeksplorasi pola, kategori, dan hubungan, dan sering bertanya tentang lingkungan sekitarnya. Mereka menyukai puzle atau permainan yang membutuhkan kemampuan nalar. Individu seperti ini sering ditemui di perusahaan-perusahaan komputer atau kimia.
3. Kecerdasan Visual Spatial
Kecerdasan ini berada pada wilayah posterior di hemisphere kanan. Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan mempersepsi visual-spatial secara tepat, seperti mengetahui dimana saja letak segala sesuatunya di dalam kelas, berpikir lebih pada gambar 3 dimensi dibandingkan kata-kata dan memiliki kemampuan untuk melihat, mengingat, dan menciptakan objek. Kecerdasan ini biasanya disertai dengan kemampuan imaginasi yang tinggi.
Amati saja apakah anak tersebut senang berkutat dengan pekerjaan-pekerjaan seni; membuat coretan-coretan; menikmati seni dan tampilan-tampilan visual; bekerja dengan puzzle atau mazes; mudah memahami peta, grafik, dan diagram;
4. Kecerdasan Musikal
Kecerdasan ini berada pada lobus temporal kanan. Mereka yang memiliki bakat dalam kecerdasan ini memiliki rasa yang kuat terhadap pola bunyi, irama, nada, dan tempo. Kemampuan mereka dalam mendengar dan memahami pola-pola tersebut sangat berkembang. Termasuk didalamnya memahami bentuk ungkapan musik.
5. Kecerdasan Kinestetik
Berada di bagian serebelum, ganglia basal, korteks motor. Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan yang tinggi untuk mengendalikan gerak tubuh dan menangani benda-benda. Kecerdasan ini biasanya terdapat pada ahli bedah, atlet, penari, aktor, pematung, penjahit, dll.
6. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan ini berkaitan dengan lobus frontal, lobus temporal (terutama pada hemisphere kanan), dan sistem limbik.
Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, perangai, motivasi, dan hasrat orang lain.
7. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan ini berada pada lobus frontal, lobus parietal dan sistem limbik. Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan untuk memahami diri secara individual. Kemampuan untuk memahami emosi serta kekuatan dan kelemahan diri sendiri atau individu. Seperti pada Psikolog atau pada seorang Teologis

Belakangan Gardner menambahkan adanya kecerdasan baru yang disebut Kecerdasan Naturalis yakni kemampuan untuk mengamati pola alamiah dan memahami sistem pada makhluk hidup. Seperti kemampuan untuk mengidentifikasi sebuah spesies, membedakan antar anggota spesies, dll.

Setiap anak memiliki kecerdasan multiple ini dalam derajat yang berbeda seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Karena setiap kecerdasan berkaitan dengan area otak yang berbeda, maka kerusakan pada suatu bagian otak saja tidak mengakibatkan hilangnya semua kecerdasan yang dimiliki anak. Baik anak berbakat maupun yang mengalami keterbalakangan mental hingga autisme pun masih mungkin untuk memiliki kelebihan pada kecerdasannya yang lain.

Tentu saja pandangan ini membawa angin segar terutama bagi mereka yang memiliki anak dengan gamngguan perkembangan, seperti autisme misalnya. Masih ingat film “Rain Man” yang dibintangi oleh Dustin Hoffman? Film ini menggambarkan bagaimana seseorang yang mengalami autisme mampu memiliki kemampuan matematika dan berhitung yang luar biasa. Hingga kemampuan tersebut ia gunakan untuk membantu kakaknya berjudi di Las Vegas dengan terus mengamati setiap kartu yang dimainkan.

Pendekatan yang berdasarkan pada Inteligensi Multipel ini bahkan sudah mulai diterapkan dalam dunia pendidikan melalui Project Spectrum. Dimana guru tidak lagi merangsang inteligensi anak secara langsung dengan menggunakan materi yang berkaitan dengan kemampuan verbal atau spatial namun lebih menggunakan materi yang berkaitan dengan setiap jenis kecerdasan yang ada sehingga mendorong anak untuk merangsang setiap jenis kecerdasan yang mereka miliki.

Konsep ini benar-benar telah berhasil membawa kita pada perspekstif lain dalam memahami inteligensi dan kompetensi pada individu. Tidak heran mengingat sudah begitu banyak seminar dan buku yang diterbitkan membahas konsep ini secara berulang-ulang. Tidak sedikit yang menilai konsep ini secara berlebihan tanpa mengungkap masih banyak yang perlu diteliti dan dikembangkan dari konsep ini.

Itu sebabnya dari tadi saya menyebut Inteligensi Multipel ini sebagai konsep bukan teori. Karena pada kenyataannya Inteligensi Multipel belum memiliki landasan penelitian yang kuat. Penelitian memiliki arti penting dalam mendukung berkembangnya sebuah konsep menjadi suatu teori. Berdasarkan teori inilah nantinya baru dapat kita kembangkan suatu skala pengukuran. Hal-hal seperti ini yang belum dipahami masyarakat pada umumnya.

Saya jadi teringat pada seorang ibu yang dapat ke klinik tempat saya berpraktek. Ia terlihat heran ketika mendengar belum dapat dilakukan pengetesan seperti melakukan pengetesan untuk skor IQ pada kemampuan Inteligensi Multipel yang dimiliki anaknya.

Beberapa ahli mengkritik karena Inteligensi Multipel terlalu menekankan pada faktor spesifik dari inteligensi (s-factor). Beberapa lainnya mempertanyakan berapa banyak domain yang belum tercakup dalam Inteligensi Multipel ketika kemampuan di bidang musikal saja dijadikan salah satu tipe kecerdasan. Gardner sendiri mengakui masih panjangnya perjalanan yang harus dilalui konsep Inteligensi Multipel ini. Namun sebagai sebuah konsep, Inteligensi Multipel sudah memiliki perspektif dan penggemarnya sendiri.

Tips Memahami Arah Jurusan dan Minat Kerja


Memahami arah jurusan dan minat kerja memudahkan Anda memilih karir yang sesuai dengan kebutuhan pribadi sekaligus mendatangkan perasaan sejahtera. Salah satu pendekatan yang umum digunakan adalah Model Hexagonal dari John Holland.
Holland mengembangkan enam orintasi personal, yakni;
1. Realistik
Menyukai tugas2 mekanik, fisik atau kebendaan . Contoh: Automobil, Mesin, Komputer
2. Investigatif
Menyukai analisis abstrak, logis, senang bekerja dengan ide2. Contoh: menulis, meneliti, menyenangi science.
3. Art
Imajinatif, independent, impulsif, kreatif,sensitive dalam pengertian peka secara emosional dan ekspresif. Contoh: kegiatan musik, tari, teater, lukis,gambar, design, dekorasi, dll
4. Social
Senang berinteraksi, memahami & menolong orang lain, kemampuan verbal berkembang. Contoh: Bergabung dgn NGO, terlibat kegiatan sosial, mengajar, dll.
5. Enterprise
Populer, sociable, memengaruhi orang lain. Contoh: Partimer sales, kursus komunikasi, dll
6. Conventional
Sistematis, orderly/teratur, klerikal&matematikal . Contoh: Kursus filing, akuntansi, dll


Bagaimana memahami orientasi pribadi Anda?
Orientasi pribadi di atas ditentukan oleh sejumlah faktor antara lain hereditas dan pengalaman serta gaya hidup. Untuk memahami arah minat pastikan, Anda melakukan pengamatan pada beberapa kondisi berikut;
• Karier orang terdekat yang berhasil, misal karir orang tua.
• Prestasi yang pernah dicapai
• Apresiasi dari orang sekitar
• Hobi/minat sejak masa kanak-kanak
• Hobi yang masih ditekuni
• Aktivitas formal/informal yang pernah diikuti (sekolah, les, kursus, organisasi)

Bila Anda masih mengalami kesulitan untuk memahami arah minat dan karir, seelah melakukan deteksi di atas, tak usah ragu untuk mengunjungi psikolog yang dekat dengan tempat tinggal Anda. Ada sejumlah tes yang dapat Anda ikuti agar Anda dapat terbantu dalam memahami arah minat dan karir Anda.

Minggu, 20 Maret 2011

Build a Career Life or Just Have a Job?


Suatu sore, saya berkumpul bersama sejumlah teman perempuan. Meski terdengar rumpi, ada banyak isu yang terlontar dalam percakapan. Salah satunya tentu saja berbau curhat ketika salah seorang teman memperdebatkan bahwa ketika perempuan bekerja tentu perempuan tersebut melakukannya karena terpaksa bukan karena dia menyukainya. Teman saya sukar mempercayai bahwa ada orang yang bekerja karena orang tersebut mencintai pekerjaannya. Most of them setuju. Mereka yang rata-rata kebetulan bekerja 9 to 5 dan bekerja rutin mengatakan “seandainya boleh memilih mereka akan lebih senang berada di rumah dari pada bekerja di kantor.” Semua sependapat, kecuali saya.

Semua tahu persis bahwa saya memilih berkarier. Keputusan tersebut atas dasar pilihan bukan karena terpaksa. Terjadilah perdebatan yang tak berujung. Karena perbedaan penghayatan.

Di rumah saya berusaha memahami sikap sejumlah teman perempuan tadi. Rasanya tak hanya teman perempuan saya yang mengalaminya. Sejumlah perempuan pun laki-laki di luar sana banyak yang mengalaminya. Saya berusaha menganalisis dimana letak perbedaan penghayatan apa yang membuat beberapa orang, seperti saya, merasa begitu memeroleh energi yang kuat saat bekerja sementara sebagian lain tidak. Bekerja membuat mereka lelah dan merupakan pilihan yang ingin dihindari seandainya keadaan keuangan mencukupi.

Betul, kenyataannya sebagian besar orang bekerja karena uang. Kenyataannya kehidupan memang semakin sulit. Ada joke yang pernah dilontarkan suami saya, “tahun 80-an suami bekerja sudah mampu membuat keluarga hidup sejahtera. Di era 90-an suami dan istri bekerja baru-lah keluarga dapat hidup sejahtera. Sementara di tahun 2000-an, meski suami dan istri sama-sama bekerja kehidupan keluarga tetap belum sejahtera.

Diakui, kondisi ini menerpa hampir semua keluarga. Sehingga bagi kebanyakan orang, bekerja menjadi sebuah kewajiban akibat sejumlah kebutuhan yang terpaksa harus ditutupi. Bekerja akhirnya benar-benar berfungsi sesuai dengan maksudnya, yakni menghasilkan nilai. Dalam konteks ini nilainya berupa uang. Apakah Anda sedang berada dalam kondisi di atas? Bekerja karena terpaksa? Bekerja hanya karena uang alias selalu BU (Butuh Uang)? Bila ya, kasihan sekali. Anda memang sedang “benar-benar bekerja.”

Tahukah Anda, bekerja rutin mengerjakan aktivitas yang cenderung sama berulang-ulang sebagai sebuah kewajiban dalam keadaan terpaksa dapat membuat Anda mengalami tekanan hingga mengalami burnout?

Disitulah akarnya. Mengapa pekerjaan kemudian dihayati sebagai sebuah beban yang seandainya boleh memilih ingin dibuang saja dari kehidupan.
Padahal, melakukan kegiatan bekerja memiliki dampak besar positif bagi pengembangan diri dan emosi. Dalam pendekatan positive psychology, kehidupan karier yang memuaskan merupakan salah satu kunci penghayatan perasaan well-being alias sejahtera. Membuat Anda merasa berharga, berarti, kompeten, dan memiliki kontrol atas diri pribadi.

Apa yang membuat kondisinya begitu berbeda? Ada orang yang begitu terbebani dengan pekerjaan sementara yang lain memeroleh energi dan “kehidupan” dari pekerjaannya dan melihat uang yang diperoleh dari pekerjaan hanya sebagai bonus?

Jawabannya, sebagian besar orang hanya memiliki pekerjaan. They just have a job. Sehingga sukar untuk melihat pekerjaan sebagai sebuah passion dan sumber energi kehidupan.

Sementara sebagian yang lain, bekerja justru menumbuhkan perasaan bahagia dan sejahtera. Pekerjaan dihayati sebagai kehidupan karier yang sedang dibina. Secara perlahan (step by step) mencapai goals yang dianggap sesuai dengan nilai kehidupan pribadi.

Karena pekerjaan adalah sebuah karier yang sedang dibangun, mereka yang menyintai pekerjaannya selalu tergerak melakukan sesuatu untuk membuat karir-nya berkembang. Mereka memiliki passion atas kehidupan karirnya. Mereka adalah the right person yang telah menemukan the right place untuk dirinya.

Apakah orang yang bekerja karena terpaksa adalah the right person? Of course, semua orang the right person. Hanya saja mereka belum berada pada the right place. Kalau Anda bernasib sama dengan orang-orang yang belum mampu menyintai kehidupan karir dan really into it, Anda tentunya belum memiliki rahasia dalam menghadapi tantangan karir. Saya menyebutnya ASA.

ASA tidak hanya dipahami sebagai harapan seperti yang seharusnya. ASA dalam konteks ini merupakan akronim dari Analysis, Self-Enrichment, dan Action.

Analysis, merupakan kunci pertama dalam pengembangan kehidupan karier dan pribadi. Dengan senantiasa memahami SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunity, Threat) Anda akan mampu memahami karakter diri Anda. Memahami kekuatan dan minat pribadi Anda memudahkan untuk memahami the right place yang tepat untuk Anda. Ingatlah, there’s always the right person. Orang menyintai pekerjaannya karena mereka berada di tempat yang tepat, the right place. Memahami area pekerjaan yang tepat untuk Anda salah satunya dapat Anda lakukan dengan memahami orientasi pribadi.

Apa orientasi pribadi Anda? Model Hexagonal dari John Holland rasanya bisa membantu. Ia membuat enam tipe orientasi pribadi yang dilandasi riwayat hidup dan faktor hereditas sehingga individu bersangkutan akan tertarik pada jenis atau area pekerjaan tertentu yang dirasa memenuhi kebutuhan pribadi dan mendatangkan kepuasan. Antara lain; Realistik, Investigatif, Artistik, Sosial, Enterprise, dan Konvensional.

Memahami kekuatan dan orientasi pribadi memudahkan Anda menciptakan peluang atau opportunity bagi kehidupan karir Anda. Bahkan membuat Anda mampu mengendalikan segala kelemahan dan ancaman agar tidak mengganggu proses Anda dalam menciptakan dan memeroleh peluang.

Self-Enrichment, merupakan kunci kedua dalam megembangkan kehidupan karier dan menjadikan Anda mencintai pekerjaan Anda. Mengingat trend dunia karir saat ini yang menguntungkan individu-individu yang mampu menjadi active-agent, individu yang mampu mengembangkan diri dan skills-nya, tidak heran, bila mereka yang mencintai pekerjaan selalu terdorong untuk mengembangkan diri. Belajar kembali, mengikuti training atau kursus yang dapat membuat mereka selalu berkembang menguasai tantangan karier yang ada. Tidak hanya berpusat pada hard skills melainkan juga mengembangkan soft skills.

Action, merupakan kunci terakhir. Ketika Anda melakukan tindakan tertentu, seperti melakukan self-enrichment, saat itulah Anda menyadari, betapa Anda telah berproses mendekati image ideal Anda tentang diri sendiri. Mendekati goals pribadi yang ingin Anda capai dan menikmati proses yang Anda jalani karena Anda menginginkannya. Melakukan apa yang menjadi passion dan tujuan hidup Anda.

Menghayati kehidupan sebatas kehidupan faktual, tak membuat Anda kemana-mana. Saat Anda berhenti dan hanya menjalani kehidupan yang itu-itu saja, kehidupan yang biasa, saat itulah Anda hanya “sedang bekerja.” Saat Anda terdorong melakukan apa yang seharusnya Anda lakukan, Anda sedang “membangun karier.” Ketika membangun, Anda dalam proses. Tak ada kata terlambat dalam membangun kehidupan karier, karena proses berkarier merupakan proses seumur hidup.

Apapun pilihan Anda, stay at home or build a career life, pastikan Anda menikmatinya. Saat ini saya menikmati pekerjaan saya. Because I build my career life. Have you?