Selasa, 08 Oktober 2013

Memaafkan dan Hidup Lebih Baik

Memaafkan tidak berkaitan dengan: melupakan, menyangkal, apalagi menekan perasaan, dengan mengatakan masalah tidak terjadi atau tidak merasa sakit hati dan kemudian menolerir kejadian yang menyakitkan.

4 Tahap Memaafkan

Untuk bisa memaafkan perlu melewati empat tahap berikut ini; 1.Uncovering; individu perlu memahami betapa besar dampak mendendam, marah, dan benci bagi kehidupannya sendiri.

2.Decision: membuat putusan, akan tetap menyimpan emosi negatif atau justru berbenah dan memaafkan.

3.Work: individu berpusat pada “issue atau masalah” secara langsung. Sehingga secara otomatis mengenyampingkan “pelaku”. Kemudian mencoba mengubah perspektif tentang masalah yang terjadi. Berpikir dari berbagai perspektif dan dimensi membangun ‘reframing’ sejumlah skema dan peghayatan yang dimiliki tentang kejadian yang dianggap menyakitkan.

4.Deepening Ketika “reframing” berhasil, masalah akan mampu dilihat dari perspektif yang berbeda secara mendalam. Sehingga tiba-tiba saja emosi yang tadinya negatif berubah menjadi netral karena pemahaman tentang masalah berubah. Saat itulah seseorang akan ready to forgive.

Tanpa kemampuan memaafkan, kemarahan, dendam, dan perasaan sakit hanya akan menjadi bayang kelam yang menghabiskan setiap bagian dari kehidupan individu. Bahkan menciptakan siklus permusuhan dan balas dendam berulang.

Manfaat Positif Memaafkan a). Michael McCullough (2000) mengatakan “memaafkan memungkinkan seseorang untuk bergerak melampaui kebutuhan akan balas dendam sekaligus membenahi ikatan sosial yang rusak.” b). Memaafkan meningkatkan kesejahteraan emosional, kesehatan secara fisik, dan mendukung kehidupan interpersonal menjadi lebih baik. c). Fakta riset dari Lawler dkk. (2003): individu akan merasakan adanya penurunan tekanan darah dan ketegangan otot hanya dengan “membayangkan” memberi maaf pada seseorang.

Berikan maaf Anda sekarang. Bukan sekedar 'to forgive but not to forget.' Melainkan 'to forgive then live a better life.'

Waspadai, Kekerasan dalam Rumah Tangga

Faktor yang berpotensi memicu kekerasan dalam rumah tangga, antara lain: 1). Stress ekonomi/financial, 2). Pasangan dengan ketergantungan pada alkohol dan narkoba, 3). Pasangan dengan gangguan kepribadian (missal: antisocial, borderline personality, dll).

3 Siklus Pola Kekerasan dalam Rumah Tangga Umumnya pola kekerasan dalam rumah tangga berupa siklus 3 tahap: 1) terbentuk tekanan di antara pasangan 2) tahap eksplosif, dimana terjadi kekerasan 3) tahap 'honeymoon', ketika salah satunya minta maaf dan membangun janji-janji tak akan mengulagi, bahkan memberikan hadiah-hadiah dan berlaku manis sehingga pasangan memilih untuk bertahan dalam pernikahan.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berpotensi Berulang Ditinjau dari teori-teori orientasi psikodinamika, saat kekerasan terjadi pelaku kekerasan justru memeroleh penguatan saat pasangan terlihat ‘bersedia’ diperlakukan secara kasar dengan kekerasan. Bahkan pelaku justru memeroleh dominasi maksimum saat ia dapat melakukan kekerasan atas pasangan yang cenderung pasif dan tidak asertif. Bahkan ada yang dengan gangguan kepribadian justru memeroleh kepuasan secara emosional bahkan seksual setelah melakukan kekerasan pada pasangan yang pasif dan terlihat bersedia menerima perlakuan tersebut. Sehingga pola ini terus berulang dan bahkan semakin intens dan berat.

Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Umumnya kekerasan masuk kategori abusive, dengan melihat dampaknya terhadap individu baik secara fisik maupun psikis/psikologis. Dampak tersebut bisa sangat destruktif, misal: mengakibatkan luka fisik, atau tekanan emosional yang berdampak pada rendahnya self-esteem, rendah diri, ketakutan berkepanjangan hingga mimpi buruk, bahkan tekanan emosional dan depresi mendalam disertai gejala-gejala psikofaal, seperti; lelah berkepanjangan, sakit kepala, hingga insomnia atau bahkan justru mengancam jiwa/keselamatan. Dampak seperti ini sudah cukup jadi pertimbangan dasar untuk perceraian.

Mengapa Ada yang Memilih Bertahan Meski Tak Sehat Ada banyak alasan yang membuat pasangan bersedia bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sehat alias destruktif. Beberapa diantaranya; a). Ketergantungan secara financial (ekonomi), b). Tekanan secara religi yang tidak membolehkan perceraian, c). Tekanan budaya, d). Tekanan keluarga besar, e). Perasaan malu dan bersalah kalau gagal dalam pernikahan, f). Takut sendirian dan menjanda, g). Faktor anak (misal: kekhawatiran anak tak punya figur ayah), h). Merasa sangat tak berdaya, i). Tak ada pilihan, j). Masih cinta pada pasangan meski dia abusive.

Kapan Memilih Untuk Memaafkan & Bertahan Ketika pasangan tak sekedar minta maaf atas aksi kekerasan yang dilakukan, lebih penting;

1). pasangan bersedia terlibat membenahi konflik/masalah dalam pernikahan. Misal, bersedia ikut konseling pernikahan maupun konseling atas masalah pribadi yang menjadi akar masalah dalam aksi-aksi kekerasan yang ditampilkan.

2). tidak mengulangi tindakan yang sama.

Sebaliknya ketika konseling dan usaha-usaha berbenah tak mampu membawa pernikahan ke arah yang lebih baik, bahkan berdampak destruktif, perceraian tak ayal dapat dijadikan pilihan.

Bayi Tidur Sendiri Atau Bersama Orang Tua?

Apapun pilihan Anda, cermati beberapa faktor dan kondisi antara lain; usia, kebutuhan, dan pola tidur bayi; kondisi dan kebutuhan sebagai orang tua; pengaruh budaya hingga ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai.

Pengaruh Budaya? Dalam buku Child Psychology dari Ross Vasta dkk (2004) disebutkan di kalangan menengah Amerika kebanyakan orang tua memilih untuk tidur terpisah dari bayinya pada usia sekitar empat bulan. Bayi tidur di tempat tidur bahkan di kamar sendiri, dengan alasan agar bayi menjadi lebih independent dan mampu membangun pola tidur yang baik. Sementara di kalangan bawah dan pada sejumlah kelompok etnis tertentu, seperti Afrika Amerika, mereka lebih memilih untuk tidur di ranjang yang sama dengan bayinya dengan alasan ingin membangun kedekatan. Dan di banyak budaya kondisi ini kerap menjadi pilihan, termasuk di Indonesia. Di Indonesia sebagian besar pasangan muda masih tinggal bersama dengan orang tua atau keluarga besar. Akibatnya satu rumah dihuni oleh beberapa keluarga yang sering kemudian berbagi kamar bahkan tempat tidur, termasuk bayi dan orang tuanya.

Pola Tidur Bayi Bayi yang baru dilahirkan hingga usia enam bulan, memiliki kebutuhan tidur hingga delapan belas jam sehari. Mereka bangun setiap dua hingga tiga-empat jam untuk minum susu. Pola tidurnya secara umum terbagi dua. Sekitar 50% tidur aktif (REM, yang sering disebut tidur dengan mimpi) dan 50% tidur tenang (non REM, dimana tubuh sangat relaks). Kondisi ini cukup menyulitkan bagi ibu bila mengasuh bayi dari kamar berbeda. Terutama mengingat faktor keamanan bayi. Sekitar usia enam hingga dua belas bulan, bayi semakin menunjukkan pola tidur yang lebih regular dan panjang. Rata-rata mereka tidur hingga enam belas jam per hari. Dengan waktu tidur-bangun yang lebih panjang. Seiring bertambahnya usia bayi, akan lebih memungkinkan bagi para bayi untuk tidur sendiri di ranjang mereka di kamar terpisah.

Peran dan Kebutuhan Orang tua Kebanyakan orangtua mengalami perubahan yang drastis dalam hidupnya begitu memiliki anak. Sejumlah orang tua mengatakan “welcome to sleepless night” seiring dengan kelahiran para bayi. Kenyataannya, bayi membutuhkan perhatian ekstra dari ibu maupun ayah. Tidak hanya perlu menyesuaikan diri dengan kondisi tubuh dan perubahan hormonal pasca melahirkan yang harus dihadapi ibu, melainkan juga pengasuhan bayi yang kerap total. Tentu saja kondisi tersebut melelahkan mengingat pola tidur bayi baru lahir yang begitu singkat. Sayang, tak banyak orang tua yang paham bahwa mereka membutuhkan waktu tidur yang memadai agar tidak kelelahan dan kemudian menjadi stress hingga depresi dan mengalami konflik dengan diri maupun pasangan. Dengan pertimbangan ini, tidur terpisah dari bayi, dimana pengasuhan kemudian secara bergantian dapat didelegasi pada suami, orang tua (kakek-nenek si bayi), hingga menggunakan jasa pengasuh bayi.

Dimana Bayi Tidur? 1. Seranjang dengan Orang Tua Bayi yang tidur seranjang dengan orang tua, secara umum memudahkan ibu menyusui kapanpun dan membuat bayi menjadi lebih tenang tidurnya. Hanya saja orang tua tak memiliki waktu tidur yang memadai. Bahkan bayi berisiko tertekan oleh tubuh orang tuanya bahkan ketika bayi sudah bertambah umur, bayi berisiko jatuh dari tempat tidur karena tidak ada pelindung bayi di tempat tidur orang tua.

2. Sekamar dengan orang tua di ranjang terpisah Dengan tempat tidur yang berdekatan, orang tua dapat dengan mudah tetap memantau bayi dan menyusui tanpa harus selalu terganggu dengan gerakan atau suara bayi. Keamanan bayi pun terjaga. Bahkan bayi tetap dapat tidur tenang dengan pola tidur yang baik. Yang perlu jadi catatan, pastikan ranjang bayi terbuat dari bahan yang aman, bentuknya pun aman bagi bayi, dan kasur tidak terlalu lunak agar bayi tak terhalang belajar berbalik dan tengkurap kelak. Bahkan selimut pun dipastikan tidak terlalu tebal dan dipasang sebatas dada bayi, untuk menghindari bayi tertutup selimutnya sendiri. Sama seperti model pertama, model ini tetap menyulitkan orang tua memiliki waktu tidur yang memadai.

3. Tidur di Ranjang dan Kamar Terpisah Model ini meski memudahkan orang tua memiliki waktu istirahat yang cukup, perlu diperhatikan kondisi kamar bayi. Kamar bayi sebisa mungkin berdekatan dengan kamar orang tua, atau memiliki pintu penghubung. Bila tidak memungkinkan perlu ada monitor bayi sehingga orang tua tetap bisa memantau bayinya dari kamar mereka. Sebetulnya kondisi orang tua di Indonesia cukup diuntungkan. Dengan kekerabatan yang kuat, pengasuhan dapat dilakukan secara bergantian dengan delegasi pada nenek atau pengasuh bayi. Bayi tetap dapat tidur dengan tenang di tempat tidurnya di kamar sendiri, sementara faktor keamanan dan kenyamanan tetap terjaga karena ada sejumlah figur yang membantu.

Pada akhirnya dengan sejumlah pertimbangan di atas, apapun pilihan orang tua, para bayi akan dapat tidur dengan pola yang reguler dan panjang seiring dengan bertambahnya usia mereka. Bahkan mereka sejak dini sudah mampu membangun kenyamanan dalam ‘sarang’-nya. Namun pastikan, tak hanya bayi yang diharapkan dapat tidur dengan nyenyak dan nyaman, begitupun orang tua.