Sabtu, 26 September 2009

Episode Love-Cold

Cuplikan dari bab 1

Melalui konseling singkat, segera diketahui apa yang membuat toleransi mereka begitu rendah saat menghadapi anaknya. Mereka berdua terlalu lelah. Saat saya tanyakan, sanggupkah mereka melakukan tips-tips yang saya tunjukkan di depan mereka sebelumnya, mereka berdua menghela nafas panjang dan menggeleng-geleng. Semua terasa berat. Saya tanyakan lelahkah mereka setiap pulang ke rumah. Keduanya mengangguk meng-iya-kan.

Kepada orang tua ini, saya katakan, bahwa kondisi lelah akibat tuntutan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari yang sudah berat tak hanya dialami oleh mereka berdua. Tapi juga orang tua lainnya. Namun mengapa ada orang tua yang tetap mampu berespon hangat pada anak-anaknya namun ada pula yang gagal.

Begitu seringnya saya menghadapi orang tua seperti mereka berdua. Sehingga segera saya ketahui apa lagi yang saya butuh ketahui dari mereka. Yakni, tentang bagaimana kehidupan rumah tangga mereka berjalan selama ini, hari demi hari. Ketika digali, pada mulanya kedua orang tua ini tak merasa bahwa hubungan mereka bermasalah. Bagi mereka semua berjalan baik-baik saja.

Sehingga saya mulai mengevaluasi kegiatan mereka sehari-hari. Benar saja. Saat mereka menceritakan detail apa yang terjadi dari waktu ke waktu di setiap aktivitas mereka dalam satu hari selama satu minggu, ketahuan. Waktu yang mereka punya sehari-hari habis dipusatkan pada kegiatan mencari nafkah dan membesarkan anak. Mereka menjadi abai bahwa ada sumber energi yang mampu mendatangkan energi positif besar di dalam rumah. Yakni hubungan cinta yang hangat di antara sepasang suami istri.

Tiba-tiba saja mereka sadar, bahwa mereka memang setiap hari pulang ke rumah di saat jam tujuh atau jam delapan di malam hari. Sempat untuk makan malam bersama bahkan untuk tidur di ranjang yang sama. Namun pusat kehidupan masing-masing mereka hanyalah terletak pada anak-anak dan istirahat. Untuk besok bisa kembali bangun di pagi hari dan bekerja.

Tak ada celah waktu yang mereka siapkan untuk diri mereka sendiri. Sebagai sepasang orang yang saling cinta. Sepasang kekasih. Tak heran, di kala anak tertua mereka berusia lima tahun, mereka sudah merasa hubungan mereka begitu-begitu saja. Hambar, tak ada greget. Meski juga tak ada pertengkaran atau perseteruan. Namun hubungan tak lagi hangat. Bahkan merasa lelah setiap harinya. Secara perlahan tetapi pasti, mereka sedang mengalami episode love-cold.

Kepada mereka saya katakan, bahwa sejak awal sudah terlihat jelas. Tergambar dari bagaimana si suami dan istri duduk di depan saya di dalam ruang praktik. Mereka duduk seolah berjarak, tak ada usaha saling mendekatkan diri apalagi menyentuh dan saling menatap mata. Ketika menyadarinya, mereka tiba-tiba tertawa. Si suami terlihat merasa tak enak sementara si istri tertawa sambil mengeluarkan air mata. Ia mendadak menjadi sedih.

Sukar sekali meminta mereka untuk kembali menjalin kontak mata karena mereka tak terbiasa melakukannya. Sudah lama sekali mereka tak saling menatap mata dengan hangat serta berbicara hanya berdua saja. Sama seperti sudah lama sekali mereka tak merasakan energi cinta yang selalu menjadi energi ekstra di saat kelelahan melanda. Seperti sebuah minuman bersuplemen. Yang dengan segera memberi enegi baru saat kelelahan akibat tuntutan hidup sehari-hari begitu mendera.

Tiba-tiba saja mereka sadar. Mereka hidup dalam love-cold. Dan mereka telah kehilangan sesuatu. Kehilangan kehangatan. Seringkali kita bepikir seperti kedua pasang orang tua tadi. Merasa bahwa semuanya baik-baik saja namun ternyata memang berjalan baik-baik saja karena hanya terjadi begitu-begitu saja. Tak ada usaha untuk menambah kehangatan di sana apalagi menciptakan sparks dalam kisah cinta yang seharusnya bisa tetap begitu membahagiakan persis seperti pertama kali jatuh cinta dulu.

Hanya dalam satu konseling, kedua orang tua ini paham. Bahwa kelelahan yang mereka alami tak bisa dijadikan alasan untuk menghadapi anak dengan rentang toleransi emosi yang rendah. Karena saat orang tua emosional, artinya mereka ”belum siap” menjadi orang tua. Mereka perlu memberi waktu untuk diri mereka sendiri terlebih dahulu sebelum mendekati anak dan membangun hubungan dengan anak-anaknya. Kalau tidak, mereka hanya ingin cepat selesai dalam menangani anak. Mengikuti keinginan anak atau marah-marah pada anak. Karena secara emosional mereka saja belum lagi terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dan kondisi itu tak sehat secara emosional.

Sebetulnya tidak hanya kedua orang tua ini yang mengalami masalah secara emosional akibat episode love-cold yang mereka alami. Ada banyak pasangan lagi yang membawa masalah senada. Merasa hubungan mereka berjalan baik-baik saja, karena memang semua berjalan terus begitu-begitu saja untuk waktu yang lama. Akibatnya hubungan cinta mereka terasa hambar dan kehilangan greget. Cinta telah kehilangan kehangatannya. Mereka berada dalam episode love-cold tanpa mereka sadari.

Bertahan dalam cinta yang sudah dingin sungguh-sungguh berat dan tak membahagiakan. Tak banyak yang bersedia bertahan. Seandainya ada yang bersedia, pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri saja kisah cintanya. Karena hanya tinggal kisah, sejak cinta ditenggarai telah berlalu. Kehidupan cinta seperti ini berkebalikan dengan kehidupan cinta yang hangat. Bukannya memberi energi melainkan menguras banyak energi dari diri kita.

Saat kita mampu merasakan cinta, kita merasakan getar-getar kebahagiaan. Karena cinta merupakan salah satu kebutuhan emosi paling dasar. Pada saat kebutuhan emosi paling dasar ini dipenuhi tangki emosi yang kita miliki menjadi “penuh” dan komplit. Perasaan penuh dan komplit ini yang sanggup membuat kita merasa bahagia dan sejahtera secara emosional. Perasaan bahagia dan sejahtera ini menghasilkan energi positif yang kuat. Pancarannya menebar energi positif dalam bentuk yang sama kepada sekitar kita. Yakni pancaran cinta. Itulah salah satu rahasia kebahagiaan hidup.

Sebaliknya, saat kita gagal merasakan cinta, tangki-tangki emosi tadi menjadi kosong. Artinya kebutuhan emosi tak lagi terpenuhi. Saat kebutuhan emosi tak terpenuhi kita menjadi tak bahagia. Sehingga kita mudah menjadi marah dan bertegangan tinggi akibat adanya perasaan-perasaan frustrasi. Itu sebabnya orang-orang yang bermasalah dengan cinta bermasalah pula dengan dirinya secara emosional.

Emosi-emosi negatif ini membutuhkan banyak energi. Karena ambang toleransi kita atas apapun menjadi rendah sehinga kita mudah bereaksi yang tidak perlu atas apapun. Menguras banyak energi dan melelahkan. Dalam kondisi seperti ini sukar bagi kita untuk berempati, mengalah, apalagi mendengar karena kita justru sangat butuh dimengerti, didengar, dan diperhatikan. Bagaimana bisa memancarkan cinta pada orang-orang terdekat bila tak ada cinta yang hendak dipancarkan. Bersediakah kita menjalani hidup dalam episode love-cold bila kita memiliki pilihan kehidupan yang lain. Kehidupan dalam everlasting-love.


Baca potongan lengkapnya dalam buku psikologi populer "Love-Cold" yang akan segera terbit dan edar..


salam hangat,
penulis buku Love-Cold
-verauli-

6 komentar:

  1. mbak vera, blog-nya ok banget nih :) tapi (kalau aku boleh saran) tulisannya terlalu kecil, mbak.. agak kreyep2 bacanya hehehe ;p tetap semangat berkarya mbak!

    BalasHapus
  2. hihihiii..
    thank you so muuaaach ya darling..utk sarannya..
    td mb vera mampir..blogmu jauuh lebih baguuusss..:) tulisannya itu loh..menggigit..
    yummyyy..:p

    BalasHapus
  3. wah mba, kasih tips buat bikin hubungan suami-istri tetep harmonis kek org baru pacaran dunk..*request* hohohoho....

    bukannya saya yg udah merit...cm keknya seru aja bacanya..jd buat bekal di masa depan..wekekeke......

    nice blog anywayyyy^^

    BalasHapus
  4. thanks you so much Nee, for your compliment..:p

    tentang tips agar suami-istri selalu mampu menciptakan sparks dalam hubungannya, dibahas tuntas dalam buku LOVE-COLD..mulai dari love-checking sampai dengan love-pills (pil-pil cinta)..juga cara membenahi diri yang bermasalah hingga kapan saatnya mengatakan i'm sorry goodbye pada pasangan yang bermasalah..
    mudah2an awal november bukunya udah bisa terbit..didoakan yaa..

    warm regards,

    BalasHapus
  5. Dear mbak Roslina. saya sedang membaca buku mbak, love-cold, yg bener2 hebat n kena spt itulah yg sedang trejadi dgn kami. Saya ingin sekali consult dgn mbak, dimana alamatnya ? Kalo boleh no hp mbak ?Tapi sendiri aja dulu, semoga dia mau diajak consult bersama, krn dia bgt egois..
    Salam.

    BalasHapus
  6. Bu Vera,
    Perkenalkan saya aminul koordinator dari GHI / Gaya Hidup Idaman (http://www.facebook.com/pages/GHI-INDONESIA/374847101130?ref=ts)
    Apakah buku ini ada seminarnya ?
    Siapa tahu kita bisa bekerjasama untuk mengadakan acara bu..

    salam,
    aminul.laili@gmail.com

    BalasHapus