Selasa, 08 Oktober 2013

Waspadai, Kekerasan dalam Rumah Tangga

Faktor yang berpotensi memicu kekerasan dalam rumah tangga, antara lain: 1). Stress ekonomi/financial, 2). Pasangan dengan ketergantungan pada alkohol dan narkoba, 3). Pasangan dengan gangguan kepribadian (missal: antisocial, borderline personality, dll).

3 Siklus Pola Kekerasan dalam Rumah Tangga Umumnya pola kekerasan dalam rumah tangga berupa siklus 3 tahap: 1) terbentuk tekanan di antara pasangan 2) tahap eksplosif, dimana terjadi kekerasan 3) tahap 'honeymoon', ketika salah satunya minta maaf dan membangun janji-janji tak akan mengulagi, bahkan memberikan hadiah-hadiah dan berlaku manis sehingga pasangan memilih untuk bertahan dalam pernikahan.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berpotensi Berulang Ditinjau dari teori-teori orientasi psikodinamika, saat kekerasan terjadi pelaku kekerasan justru memeroleh penguatan saat pasangan terlihat ‘bersedia’ diperlakukan secara kasar dengan kekerasan. Bahkan pelaku justru memeroleh dominasi maksimum saat ia dapat melakukan kekerasan atas pasangan yang cenderung pasif dan tidak asertif. Bahkan ada yang dengan gangguan kepribadian justru memeroleh kepuasan secara emosional bahkan seksual setelah melakukan kekerasan pada pasangan yang pasif dan terlihat bersedia menerima perlakuan tersebut. Sehingga pola ini terus berulang dan bahkan semakin intens dan berat.

Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Umumnya kekerasan masuk kategori abusive, dengan melihat dampaknya terhadap individu baik secara fisik maupun psikis/psikologis. Dampak tersebut bisa sangat destruktif, misal: mengakibatkan luka fisik, atau tekanan emosional yang berdampak pada rendahnya self-esteem, rendah diri, ketakutan berkepanjangan hingga mimpi buruk, bahkan tekanan emosional dan depresi mendalam disertai gejala-gejala psikofaal, seperti; lelah berkepanjangan, sakit kepala, hingga insomnia atau bahkan justru mengancam jiwa/keselamatan. Dampak seperti ini sudah cukup jadi pertimbangan dasar untuk perceraian.

Mengapa Ada yang Memilih Bertahan Meski Tak Sehat Ada banyak alasan yang membuat pasangan bersedia bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sehat alias destruktif. Beberapa diantaranya; a). Ketergantungan secara financial (ekonomi), b). Tekanan secara religi yang tidak membolehkan perceraian, c). Tekanan budaya, d). Tekanan keluarga besar, e). Perasaan malu dan bersalah kalau gagal dalam pernikahan, f). Takut sendirian dan menjanda, g). Faktor anak (misal: kekhawatiran anak tak punya figur ayah), h). Merasa sangat tak berdaya, i). Tak ada pilihan, j). Masih cinta pada pasangan meski dia abusive.

Kapan Memilih Untuk Memaafkan & Bertahan Ketika pasangan tak sekedar minta maaf atas aksi kekerasan yang dilakukan, lebih penting;

1). pasangan bersedia terlibat membenahi konflik/masalah dalam pernikahan. Misal, bersedia ikut konseling pernikahan maupun konseling atas masalah pribadi yang menjadi akar masalah dalam aksi-aksi kekerasan yang ditampilkan.

2). tidak mengulangi tindakan yang sama.

Sebaliknya ketika konseling dan usaha-usaha berbenah tak mampu membawa pernikahan ke arah yang lebih baik, bahkan berdampak destruktif, perceraian tak ayal dapat dijadikan pilihan.

1 komentar:

  1. salam kenal mba vera...melihat penjelasan diatas,saya salah satu yg bertahan dalam rumah tangga yg sudah tidak sehat(menurut sya
    tidak tahu dgn pasangan saya),salah satunya faktor keluarga besar dan agama,tolong berikan saran pada saya,terimakasi

    BalasHapus